Artikel tentang perjalanan saya ke Sri Lanka untuk menelusuri jejak arsitektur Geoffrey Bawa ini telah terbit di Majalah Panorama Edisi September-Oktober 2013.
“Geoffrey lives in an incredibly splendid style.
His two houses, his office are among the most beautiful houses in the world .
We lunched with him at Lunuganga among the peacocks and vistas in a dream of
amazing inventive elegance and also at his famous pied-a-terre in Colombo” – dari The Diaries of Donald Friend, 17 Desember
1971
Architectural pilgrimage dalam perjalanan bukanlah sesuatu yang baru,
terlebih lagi bagi para pecinta dan pelaku arsitektur. Mengunjungi
gedung-gedung indah karya arsitek terkenal menjadi kesenangan berikut
pembelajaran tersendiri. Pada perjalanan saya ke Sri Lanka kali ini, saya memutuskan
untuk mengunjungi hotel, studio dan rumah karya Geoffrey Bawa, penggerak ide aliran ‘tropical modernism’ yang
marak kita jumpai di rumah tinggal maupun hotel-hotel saat ini.
Keindahan alam di negara pulau berbentuk serupa tetesan air mata ini
memberi latar belakang petualangan yang mendebarkan. Kebudayaannya yang banyak
terpengaruh India dan filosofi Buddhisme serta situs-situs kuno UNESCO Heritage
Site, melejitkan Sri Lanka menjadi destinasi parisiwata yang berkembang pesat.
Bermula di Galle
Sebagai penikmat arsitektur vernakular -arsitektur yang dibangun sesuai
dengan konteks lokal- Bawa telah lama menjadi idola saya karena karyanya yang arif
oleh tradisi lokal, ramah lingkungan serta dekat dengan alam. Tidak jauh dari
Galle, kota historis di pinggir laut yang dikelilingi oleh benteng, terletak
salah satu karya arsitektur terkenal Bawa, Lighthouse Hotel.
Hotel ini dibangun pada tahun 1997 dan memperlihatkan kepiawaian Bawa dalam
menyatukan arsitektur dengan landscape sekitarnya.
Permainan cahaya dan bayangan di koridor, debur ombak Samudra Hindia serta
formasi batu-batu karang yang dibiarkan mencuat alami di sekitar hotel, menjadi
satu kesatuan yang elegan dan menyenangkan untuk disaksikan. Keajaiban
arsitektur adalah saat ia tidak lekang dimakan waktu dan hotel yang dibangun
hampir 20 tahun yang lalu ini tetap berdiri klasik dan kokoh.
Saya kembali ke Galle setelah menghabiskan sore yang menenangkan dengan
secangkir teh kardamum di teras Lighthouse Hotel yang dilimpahi oleh angin
sejuk dan cahaya. Perlahan saya berjalan menuju lighthouse berumur lebih dari satu abad di tepi benteng yang
sebenarnya. Matahari mulai tenggelam dan meninggalkan goresan-goresan merah
keemasan di kanvas langit. Penduduk lokal dan turis campur baur bertemu serta saling
melempar senyum dalam penantian saat matahari itu terbenam seluruhnya.
Galle Fort, benteng kokoh yang terbukti sanggup menahan serangan musuh hingga
tsunami pada tahun 2004, adalah kota kecil yang unik. Wajan eklektik yang
pernah dijajah oleh Portugis, Belanda hingga Inggris ini memiliki paduan budaya
serta arsitektur yang kaya serta dihuni oleh penduduk lokal yang telah tinggal
di dalamnya selama beberapa generasi. Waktu berdetik dengan perlahan dan dengan
tempo yang berbeda di Galle namun perjalanan saya menjelajahi Sri Lanka masih
panjang.
Melompat ke Dambulla
Three-wheelers berwarna merah membawa saya yang duduk pasrah
sambil terlonjak-lonjak di belakang pengemudi, lebih dekat ke Heritance
Kandalama Hotel. Kendala bahasa tidak membuat komunikasi kami menjadi buntu
karena dengan gelengan kepala dan petunjuk tangannya, Chenda memperlihatkan kepada
saya bangunan hijau yang seolah termakan pepohonan dari kejauhan. “Kandalama,”
katanya singkat, sebelum menggas lebih dalam melewati tanggul waduk reservoir
yang airnya meluap ke bahu jalan. Ia menurunkan saya di depan lobi hotel dan
mengisyaratkan bahwa ia akan menunggu saya di tempat parkir dekat situ.
“Ayubowan,” sapa pegawai hotel
yang ayu berbaju putih. Saya kemukakan misi napak tilas saya kepadanya berikut
misi makan siang yang cukup mendesak. Heritance Kandalama Hotel adalah salah
satu karya Geoffrey Bawa favorit saya sehingga hanya desah kagum yang bisa saya
lontarkan saat saya duduk di dalamnya. Pemandangan lepas ke arah reservoir alam
menjadi teman makan siang saya hari itu berikut waiter yang gemar bercerita.
“Kandalama menjadi terkenal karena ia berusaha untuk tidak menonjol. Tidak ada
pemandangan yang buruk dari sudut manapun saat anda melihat keluar”, kisahnya.
Façade hotel ini memang membaur dengan pepohonan di
sekitarnya, contoh brilian bahwa turisme juga bisa selaras dengan alam di sekitarnya.
Saat berkeliling, saya makin tersadar bahwa yang Bawa ciptakan adalah sarana
untuk memamerkan keelokan alam di sekitar situs bangunan ini seperti Sigiriya,
istana di atas bukit batu setinggi 200 meter yang menjadi UNESCO Heritage Site
dan tujuan pariwisata utama di Dambulla. Tidak ada warna, tekstur ataupun detail
arsitektural yang mencolok, semuanya dibuat minimalis dan sederhana. Ruangan
dan lorong mendapat cukup banyak cahaya hingga penggunaan listrik hanya
diperlukan saat malam hari. Angin sejuk dari reservoir dibiarkan mengalir dan
mengisi semua ruang.
“Ah, we have had some Indonesian
architects coming here,” tukas sang waiter, saat saya ceritakan saya dari
Indonesia. Begitu terkenalnya hotel ini hingga sebagian besar pegawainya fasih
dalam memberikan kuliah arsitektur kepada pengunjung seperti saya. Ia
mengantarkan saya ke salah satu lagi ciri khas desain arsitektur Bawa, infinity pool yang seolah menyatu dengan
danau di belakangnya. Rimbunnya pepohonan mangrove
di sekitar danau serta birunya langit yang terpantul di permukaan air begitu menawan
sehingga tidak bisa disalahkan bila para tamu hotel berkerumun di area kolam
serta kafe di dekatnya.
Colombo yang Menawan
“Kamu tidak akan melewatkan banyak hal di Colombo. Hanya kota besar lain
yang macet dan ramai. Skip it,” saran
para pelancong yang saya temui selama perjalanan. Tentu saja saya harus ke
Colombo, apalagi mengingat ibu kota Sri Lanka itu adalah domisili Bawa semasa
hidupnya. Saya percaya bahwa ibukota adalah mikrokosmos negaranya, kursus
singkat tentang karakteristik sebuah bangsa. Saya tiba dengan bus setelah 4 jam
perjalanan yang melelahkan dari Dambulla dan Colombo menyambut saya dengan
hangat. Supir bus yang ramah membuat perhentian khusus untuk saya, persis di
depan jalan menuju hostel.
Setelah memulai hari dengan teh hangat dan kue-kue kecil di Green Cabin
Cafe yang populer di antara penduduk lokal untuk memulai hari mereka, saya
memulai napak tilas saya dengan kunjungan ke rumah tinggal Bawa di 33rd Lane Bagatelle
Road. Rumah tinggal yang ditempati Bawa selama 40 tahun ini terbuka untuk umum
asalkan membuat janji terlebih dahulu. Semua masih dalam keadaan yang sama saat
Bawa masih hidup. Rolls Royce kebanggaannya masih terpoles sempurna di garasi
saat saya masuk ke dalam rumah yang tenang dan terang. Saya disambut oleh staf
pengelola yayasan yang sekaligus merangkap sebagai tour guide. Rumah tinggal Bawa semasa hidupnya ini memiliki
ketenangan yang anggun. Terletak di ujung jalan kecil yang sepi, rumah ini
adalah proyek favorit Bawa dan yang ia terus kembangkan dan perluas selama
nyaris 40 tahun. Setiap ruang dan koridor selalu dibanjiri oleh cahaya dari
jendela, skylight maupun
bukaan-bukaan yang turut menjadi ventilasi udara. Lantainya yang sebagian besar
terbuat dari semen putih dan terakota menjadikan lantai senantiasa sejuk di
kaki.
Kecintaan Bawa terhadap kerajinan tangan dan kesenian serta pergaulannya
yang luas dengan para artis dapat terlihat di banyaknya karya seni di
sekeliling rumah. Lukisan, patung, panel kayu dan karya tekstil terpajang di
antara ruang, celah serta lemari-lemari kayu. Hangat, bersahabat dan indah
mungkin beberapa kata yang bisa saya gunakan untuk berkisah tentang rumah ini. “Ada
dua video tentang Geoffrey dan karyanya yang bisa anda tonton di ruang makan,”
ujar sang guide, sebelum menyalakan
TV kecil dan meninggalkan saya sendiri. Saya bertamu sendiri dan duduk di kursi
yang dulu dipakai Bawa untuk makan dan menjamu teman-temannya! Sungguh sebuah
kehormatan yang menyenangkan.
Black Pork Curry
Saya melanjutkan napak tilas saya untuk makan siang di salah satu cafe
terpopuler di Colombo, The Gallery Cafe. Bekas kantor Geoffrey Bawa yang kini
beralih fungsi menjadi cafe dan gallery ini dengan cepat menjadi ramai oleh pria-pria
berdasi yang berduyun-duyun datang untuk makan siang di cafe yang didominasi
aksen hitam putih ini. Saya memutuskan untuk mencoba Black Pork Curry yang
disebut-sebut banyak kritikus kuliner sebagai alasan untuk datang ke Colombo. Sebagai
pecinta kuliner, Sri Lanka memberikan banyak kejutan. Pengaruh India pada
masakan-masakannya terasa mendominasi namun penggunaan bumbu dan
rempah-rempahnya lebih ringan dan segar jika dibandingkan dengan India. Sungguh,
saya mulai menyukai makanan Sri Lanka.
Galle Face Green mungkin bisa menjadi alasan yang kuat selain curry, untuk mengunjungi Colombo.
Bayangkan, promenade seluas lima
hektar di antara laut dan bisnis distrik di pinggir kota! Indah sekali untuk
hanya duduk dan mengamati orang-orang beraktifitas di sana. Saya tiba saat
matahari masih cukup tinggi dan serupa dengan banyak orang Asia lain, matahari
adalah musuh kecantikan hingga beberapa pasangan yang tengah berpacaran
membentangkan payung mereka sembari duduk berdua menikmati kebersamaan mereka.
Anak-anak, yang tidak peduli panas, berlarian bersama layang-layang mereka yang
tinggi mencium langit sementara beberapa pemuda bermain kriket dengan pemukul
kayu mereka. Lewat jam lima sore, beberapa rombongan pria berdasi berjalan
perlahan, membeli minuman dingin di kios dan duduk bersantai. Beberapa pelari
dengan giat melakukan beberapa putaran sambil tidak sengaja menghalau
burung-burung gagak terbang terkejut. Galle Face Hotel, yang sudah berdiri
dengan gagah sejak tahun 1864 mengapit area publik ini sementara di sisi yang
lain, hotel berbintang lima The Kingsbury menantang dengan pongah.
Saya tidak bisa membayangkan cara yang lebih baik untuk menutup malam
terakhir saya di Sri Lanka. Akibat mengejar Bawa, saya menemukan banyak
tempat-tempat menarik yang mendefinisikan Sri Lanka di benak saya. Kedamaian
yang baru diperoleh Sri Lanka sejak berakhirnya perang saudara pada tahun 2009
lalu, kini terasa di kota-kota. “Dulu saya tidak tahu apakah saya akan masih
hidup atau mati, setiap kali saya naik ke bus atau kereta,” kisah seorang
pemuda yang saya temui di Galle. Sri Lanka kini sibuk berbenah. Saya menganggap
perjalanan kali ini cukup serendipitious alias
banyak kebetulan yang menyenangkan. Tidak mengherankan, mengingat asal kata serendipity adalah Serendib, nama kuno
Sri Lanka dahulu. (*)
0 komentar:
Post a Comment