2016 rasanya tidak akan
menjadi tahun favorit bagi banyak orang. Rasanya, tahun ini akan diingat banyak
orang sebagai tahun yang kacau dan penuh kehilangan. Sepanjang tahun ini, saya
jadi menghindari linimasa media sosial yang non-stop mengucurkan berita selama
24 jam. Satu-satunya hal yang masih menjaga saya tetap waras adalah membaca.
Sebagai pengguna
Goodreads, saya selalu menantang diri saya pada awal tahun dengan membuat
target jumlah buku yang ingin saya baca selama satu tahun. Di awal tahun ini,
saya dengan optimis menargetkan 50 buku. Tidak banyak, hanya rata-rata empat
buku per bulan. Kutu buku seperti saya, yang membaca saat mengantre di bank
atau sebelum tidur setiap malam, pasti bisa. Semua berjalan sesuai target,
sampai pada bulan November, dimana saya terlambat 7 buku.
Jadilah, Desember menjadi
bulan kejar target. Tidak mudah juga, karena saya banyak bepergian di bulan itu
dan malas membawa buku yang tebal. Untungnya, saya berhasil menemukan aplikasi
e-book yang sesuai dengan kebutuhan dan selera membaca saya yang cukup ngawur
ini. Namanya Bookmate. Ternyata, saya yang selama ini keras kepala dan cukup
purba karena terlambat mengayomi e-book, bertekuk lutut juga.
Bookmate ini aplikasi
yang bisa di-download secara gratis. Ada banyak buku e-book gratis yang
mencengangkan di dalamnya, dari buku baru macam Modern Romance-nya Aziz Anzari
sampai buku puisinya Elisabeth Barrett Browning. Yang rela membayar sedikit
lebih, bisa mengakses lebih banyak lagi buku. Saya sampai memekik kegirangan
saat sedang browsing dan menemukan Atlas Obscura, buku karya penulis travel
favorit saya Ryzard Kapuscinski, hingga buku seri detektif perempuan Maisie
Dobbs.
Yang ingin mencoba
Bookmate dan mendapat akses gratis selama satu bulan ke semua koleksi e-book
yang ada di aplikasinya, silakan unduh aplikasinya di App Store atau Play
Store. Lalu, masukkan kode promo readwitheve
saat mendaftar. Terima kasih kembali!
Sedikit rekapan dari
buku-buku keren dan berkesan yang saya baca tahun ini:
The Immortal Life of Henrietta Lacks (Rebecca
Skloot)
Tahukah Anda bahwa ada
banyak sekali obat yang ditemukan dan riset tentang penyakit yang dilakukan
lewat percobaan dari satu sel bernama HeLa? Sel ini milik Henrietta Lacks,
perempuan kulit hitam yang menderita penyakit kanker dan meninggal pada tahun
1950an di Virginia, AS. Selnya diambil tanpa izin, dikembangbiakkan di
laboratorium dan digunakan di seluruh dunia hingga sekarang. Ironisnya, nama
Henrietta lenyap dan keluarganya tidak mendapat sepeser dollar pun dari sel
yang telah mengubah dunia riset medis dan pengobatan. Risetnya bukan main dan
dengan piawai dituliskan oleh Rebecca Skloot. Lewat tulisannya, ia berhasil
menghidupkan sosok Henrietta Lacks dan menimbulkan debat terhadap etika donor.
Cantik Itu Luka (Eka
Kurniawan)
Terus terang, saya malu.
Kemana saja saya sampai melewatkan tulisan sebegini bagusnya? Mungkin karena
saya tipe pembaca yang menghakimi buku dari cover-nya dan sampai edisi yang
terakhir, cover buku Cantik Itu Luka benar-benar tidak menarik. Buku ini mengingatkan
saya pada One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel Garcia Marquez. Saat saya
membaca buku itu, saya berpikir ‘coba ada buku yang seperti ini tapi settingnya
di Indonesia, secara Nusantara ini realisme magisnya terang-terangan ada’.
Begitu saya membaca kalimat pertama Cantik Itu Luka, langsung sudah saya
terjerat. Makin terpesona lagi saat Eka Kurniawan bercerita dengan kedalamannya
tentang hal-hal yang absurd untuk orang luar tapi sangat familiar untuk orang
Indonesia. Di Ubud Writers and Readers Festival lalu, Eka berkata bahwa
sebenarnya buku ini adalah cerminan dari sejarah Indonesia. Bahwa pemerkosaan
demi pemerkosaan yang dialami tokoh-tokoh wanitanya, adalah pemerkosaan
terhadap Nusantara yang silih berganti dilakukan oleh Belanda, Jepang, hingga
militer.
Bali: Heaven and Hell
(Paul Jarratt)
Satu lagi buku tentang
Bali yang ditulis oleh orang bule, pikir saya saat memulainya pertama kali.
Buku ini diawali dengan rangkuman sejarah Bali, dari zaman kerajaan hingga
kini. Tidak banyak fakta baru tapi terangkum dengan rapi dan enak dibaca. Yang
menurut saya menarik justru saat Paul Jarratt masuk ke bagian kedua, saat ia
mewawancarai “turis-turis awal” yang datang ke Bali saat Pantai Kuta masih
kosong. Cerita tentang sex, drugs, surfing, and rock n’ roll yang memberikan
wawasan tentang Bali dulu, lengkap dengan resonansinya yang bisa dirasakan hingga saat
ini.
The Paris Architect
(Charles Belfoure)
Ditulis oleh arsitek
tentang arsitek yang membuatkan tempat-tempat persembunyian untuk orang Yahudi
di Paris pada saat Perang Dunia II, fiksi sejarah ini benar-benar membuat saja
takjub. Detail penulisannya, penokohannya, serta temponya yang selalu
menegangkan benar-benar sempurna. Saya ingin membaca karya Charles Belfoure
yang lain setelahnya.
The Storied Life of A.J.
Fikry (Gabrielle Zevin)
Buku tentang kecintaan
terhadap buku ini bercerita tentang sebuah toko buku kecil dan pemiliknya. Menghangatkan, pintar,
lucu, sederhana, tapi sungguh kaya. Kalau saya suatu hari nanti cukup beruntung
untuk bisa menerbitkan buku karya saya pribadi, inilah jenis buku yang ingin
saya tulis.
Jaen Idup di Bali (Made
Suar Timuhun)
Kumpulan cerita pendek
berbahasa Bali pertama yang saya baca dalam waktu yang sangat lama. Saya rasa
terakhir kali membaca cerita pendek adalah saat saya masih di SMA, dan itu pun
karena diharuskan oleh nilai. Ada 19 cerita pendek di buku ini, seluruhnya
bercerita dengan jujur dan jenaka tentang permasalahan yang dihadapi orang-orang
Bali saat ini dan dari perspektif orang Bali. Temanya familiar dan klise, dalam
arti sering sekali kita dengar dialami oleh orang-orang dekat atau bahkan kita
sendiri. Sebagai orang Bali, saya hanya bisa mesem-mesem saat membacanya. Sungguh
sayang buku ini tidak lebih dikenal luas di daerah asalnya sendiri. Buku
berbahasa Bali, ditulis oleh orang Bali, dan berkisah tentang orang Bali
harusnya jadi bestseller di daerah asalnya sendiri bukan?
The Summer Before the War
(Helen Simonson)
Saya sungguh terkesan
dengan buku pertama Helen Simonson yang saya baca dulu. Judulnya Major Pettigrew’s
Last Stand. Sebagai anglophile, buku-buku yang bercerita tentang orang-orang
Inggris dan keeksentrikan mereka, sungguh saya nikmati (apalagi sambil mencelup
biskuit ke teh Darjeeling panas). Buku keduanya ini berkisah tentang Beatrice
Nash, guru honorer yang diundang mengajar bahasa Latin di sebuah sekolah di
East Sussex, Inggris pada tahun 1914. Kisahnya hangat, manis, lucu, dan membuat
saya ingin langsung berkunjung ke desa itu.
The Almost Nearly Perfect
People: Behind the Myth of the Scandinavian Utopia (Michael Booth)
Buku ini sudah saya
dengar sejak lama dan banyak yang menyebutnya sebagai bacaan wajib tentang
budaya kontemporer Scandinavia yang jarang kita dengar kecuali IKEA. Saya sengaja beli saat berkunjung ke sana
pada bulan September lalu, dan memang, bukunya laris manis di sana dan dapat
ditemui di seluruh toko buku bandara. Lewat riset yang mendalam dan selera
humor yang self-deprecating dan segar, Michael Booth “merusak” kesempurnaan
negara-negara Scandinavia di mata saya. Ternyata menjadi negara-negara terkaya
yang konon memiliki penduduk terbahagia dan tersejahtera di dunia, tidak selalu
baik.
Kitchen (Banana
Yoshimoto)
Dihadiahi oleh teman baik
saya dari Jepang, buku ini sungguh sehangat kisah di balik pemberian itu.
Ceritanya sederhana. Tentang Mikage, anak yatim piatu yang lagi-lagi harus
kehilangan nenek yang membesarkannya. Menyadari dukanya, ia diundang untuk
tinggal bersama temannya, Yoichi dan ibu Yoichi, Eriko. Ini kisah tentang
kehilangan, tentang duka, dan tentang bagaimana menjadi sebuah keluarga tidak
hanya didasarkan oleh darah tapi juga oleh pilihan, kecocokan, dan kasih. Untuk
saya pribadi, novella ini sungguh meninggalkan kesan yang kuat dan akan menjadi
cerita yang saya baca lagi dan lagi di kemudian hari.
The Book of Forbidden
Feelings (Lala Bohang)
Sungguh sebuah duet yang
sempurna. Jarang saya menemukan puisi dan ilustrasi yang sedemikian melengkapi.
Lay-outnya sempurna, enak sekali untuk dibaca dan diamati berlama-lama. Puisinya pun jujur dan menyentuh.
Half of a Yellow Sun
(Chimamanda Ngozi Adichie)
Lewat lima karakter
tokohnya, Half of a Yellow Sun bercerita tentang Biafra, sebuah republik baru
pecahan Nigeria yang berusaha merdeka pada tahun 1960an. Jangankan Biafra, bila
ditanyakan tentang Nigeria saja saya tidak tahu apa-apa. Namun, buku ini
berhasil membuat saya masuk ke negara yang dipecah-belah oleh perang sipil dan
kepentingan asing itu. Sungguh sebuah karya yang luar biasa dan langsung
membuat saya mencari lagi buku karya Chimamanda Ngozi Adichie yang lain.
MOEMIE: Gadis Berusia
Seratus Tahun (Marion Bloem)
Ini buku pertama saya
membaca perspektif tentang sejarah Indonesia dari kaca mata orang-orang Indo-Belanda.
Cara Marion Bloem merangkai sejarah dengan saga keluarga besar di dalam kurun
waktu satu abad sungguh menarik. Buku seperti ini, sama seperti Half of a Yellow
Sun, memulihkan kepercayaan saya bahwa fiksi sejarah menjadi cara yang efektif
untuk menghidupkan apa yang dianggap masa lalu ke masa kini. Menjangkau
Amsterdam hingga New York, buku ini mengajak pembacanya berkeliling dunia dan
menyelami arti menjadi orang Indonesia, yang tidak hanya semata-mata bisa
disebut begitu karena ia lahir di Indonesia. Terjemahannya cukup baik, meski
agak tesendat-sendat di beberapa bagian.
Kini giliran Anda. Buku
apa yang berkesan untuk Anda di tahun 2016?
0 komentar:
Post a Comment